Selasa, 24 April 2012

KEBIJAKAN HARGA UNTUK PETANI DAN PERAN PENGADAAN BULOG

Kebijakan harga dan non-harga buat komoditas pangan telah lama dikenal dalam literatur ekonomi pertanian. Namun, kebijakan harga bagi kepentingan petani padi dan beras pertama sekali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1969. Sejak itu, kebijakan harga dan non-harga dilaksanakan secara bersamaan, sehingga Indonesia mampu meningkatkan produksi gabah yang tinggi.8,17,18) Pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi melalui program bimbingan massal (BIMAS) pada pertengahan 1960an. Pada awalnya, pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi melalui kebijakan non-harga, seperti memperkenalkan varietas unggul padi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pengairan, dan perbaikan teknik pertanian. Namun kebijakan non-harga saja ternyata belum cukup ampuh untuk mendorong petani meningkatkan produksi, karena harga gabah/beras yang diterima petani seringkali di bawah biaya produksi.2,8,18,19) Dukungan pemerintah terhadap kebijakan harga berbeda antara di era reformasi dibandingkan dengan era orde baru (ORBA), terutama terkait dengan desentralisasi, peran teknokrat yang sangat rendah dan sebaliknya politikus. 2.1. Kebijakan Harga di Era Pemerintahan ORBA Pada era ORBA, pemerintah menetapkan harga gabah dan beras dengan instrumen harga dasar. Pemerintah melalui BULOG melakukan pengadaan gabah/beras, yang pada tahun-tahun tertentu seperti yang terjadi pada era swasembada pertengahan 1980an, melebihi jumlah penyaluran untuk menjaga harga gabah dan beras tidak jatuh di bawah harga dasar. Penetapan harga dasar ditentukan oleh berbagai variabel dan formula. Formula yang dipakai untuk itu berubah dari waktu ke waktu. Awalnya harga dasar mengacu pada rumus tani, yaitu harga per kg gabah kering simpan (GKS) sama dengan harga per kg urea. Sejak awal tahun 1990an, harga dasar ditetapkan dengan mempertimbangkan biaya produksi, tingkat inflasi, dan harga beras di pasar internasional. Harga beras luar negeri dipakai sebagai patokan biaya oportunitas dan efisiensi pada industri beras nasional.10,20,21,22,23) Kebijakan harga yang tepat, diimbangi oleh pengeluaran publik yang tinggi untuk irigasi, riset dan penyuluhan, didukung oleh ketepatan kebijakan moneter dan fiskal telah membuat Indonesia mampu berswasembada beras pada 1984. Namun, sejak akhir 1980an sampai pertengahan 1990an terjadi pelandaian produksi beras. Indonesia terpaksa harus mengimpor beras yang terus meningkat seiring dengan peningkatan permintaan dalam negeri. 2.2. Kebijakan Harga di Era Pemerintahan Reformasi Pemerintah di era reformasi menata ulang kebijakan harga yang terabaikan dalam periode 1997-2000. Pada waktu itu, pemerintah terpaksa menempuh liberalisasi pasar beras yang radikal, karena “tekanan” lembaga donor.24 Pada akhir tahun 2001, pemerintah berhasil menata ulang kebijakan perberasan nasional. Perubahan harga dari harga dasar (HD) menjadi harga dasar pembelian pemerintah (HDPP) tertuang dalam diktum ketiga Inpres No. 9/2001 tentang penetapan kebijakan perberasan dan berlaku sejak 1 Januari 2002. Inpres perberasan di era reformasi lebih komprehensif, mencakup kebijakan harga dan non-harga, kebijakan perdagangan, stok publik, serta subsidi beras terarah (targeted).8,12) Inpres kebijakan perberasan tersebut diperbaharui hampir setiap tahun. Sejak 2005, istilah HDPP diganti menjadi harga pembelian pemerintah (HPP). Biaya dalam pelaksanaan kebijakan HPP relatif lebih murah dibandingkan dengan kebijakan harga dasar, karena pemerintah hanya membeli beras/ gabah secukupnya, sesuai dengan kebutuhan penyaluran.8,25) Kebijakan ini semakin umum dipraktekkan di negara produsen utama beras, seperti Thailand dan Cina. Dalam enam tahun terakhir, penetapan HPP tidak lagi merujuk kepada harga beras internasional, tetapi sepenuhnya ditentukan oleh ongkos produksi10. Biaya produksi gabah terus meningkat seiring dengan meningkatnya harga sarana produksi, bahan bakar minyak (BBM), dan upah tenaga kerja. Harga pembelian beras pemerintah (kualitas medium FOB Jakarta) pada 2009 ditetapkan lebih tinggi (US$ 508/ton) dibandingkan dengan harga beras internasional dengan kualitas yang sama, yaitu US$ 384/ton (FOB Vietnam 25%). Pada tahun 2010, pemerintah kembali menaikkan HPP sebesar 10% yang makin mendorong penurunan daya saing beras berkualitas medium yang dihasilkan Indonesia.10,26) Sejak 2007, kebijakan harga dan subsidi pupuk mendapat dukungan politik yang kuat dari DPR. Di pihak lain, dana publik/APBN yang dialokasikan untuk perbaikan irigasi, perbaikan kualitas lahan, riset dan penyuluhan, serta penerapan teknologi panen/pasca-panen diprioritaskan rendah.27,28,29) Walaupun produksi gabah naik cukup tinggi (5,4%/tahun) dalam periode 2007-2009, tetapi sumber pertumbuhan produksi berasal dari kenaikan luas panen (2,9%/tahun), sisanya dari kenaikan produktivitas (2,5%/tahun). Dominasi kebijakan harga dan subsidi pupuk ternyata belum cukup ampuh memecahkan kendala dari sisi suplai beras nasional (supply constraints). 2.3. Harga Gabah dan Pengadaan BULOG Harga gabah di tingkat produsen dan pengadaan BULOG berkorelasi positif, yaitu 0,547 pada musim panen gadu, 0, 358 pada musim panen paceklik, dan 0,018 pada musim panen raya. Harga gabah ditentukan oleh musim panen padi, yaitu rendah pada musim panen raya dan tinggi di musim paceklik. Volume pengadaan gabah/beras BULOG juga berkaitan erat dengan musim panen dan harga gabah/beras di pasar.9,30,31) sumber : http://www.jurnalskripsi.net/makalah-reformasi-kebijakan-harga-produsen-dan-dampaknya-terhadap-daya-saing-beras/2011/904/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar